Aziz menegaskan bahwa Taman Nasional itu baru memiliki batas definitif pada tahun 2011. Mestinya hak-hak masyarakat yang sudah ada, dikeluarkan dari areal yang jadi Taman Nasional. Tapi itu tidak dilakukan. Akhirnya masyarakat terperangkap.
Ia juga menyoroti klaim bahwa kawasan tersebut adalah paru-paru dunia. “Kami anggap itu tidak benar. Dari data Direktorat Jenderal KSDAE, yang diakui internasional sebagai paru-paru dunia di Riau itu adalah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Bukit Batu, bukan Taman Nasional ini. Itu ditetapkan dalam konvensi di Jeju, Korea Selatan, tahun 2019,” ucapnya.
Aziz menegaskan, masyarakat bukan tidak cinta lingkungan. Bahkan mereka sudah menanam pohon di sana. Bahkan Ia menyindir program penghijauan satu juta pohon yang selama ini sering digaungkan.
"Coba dilihat, pohonnya ada di mana? Jangan masyarakat disuruh tanam satu-dua pohon, tapi pemerintah malah kasih izin menebangi hutan puluhan ribu hektare ke korporasi," sebutnya.
Aziz menyebutkan enam desa yang diklaim berada di kawasan Taman Nasional yaitu Bukit Kusuma, Lubuk Kembang Bunga, Segati, Gondai, Air Hitam, dan Bagan Limau. Jumlah jiwa yang terdampak mencapai sekitar 25 ribu orang. Di Desa Lubuk Kembang Bunga saja, tiga dusunnya sudah dihuni lebih dari 10 ribu orang.
“Di sana sudah ada fasilitas ibadah dan sekolah, semuanya dibangun swadaya. Tapi kini kami dipaksa memilih antara keluar atau bertahan. Kalau keluar, mau ke mana? Apakah ini tidak akan menambah pengangguran atau gelandangan?," terangnya.
Ia menegaskan bahwa masyarakat siap menjaga hutan bersama pemerintah. “Kalau memang klaimnya masyarakat menguasai 60 ribu hektare lahan yang disebut Taman Nasional itu, ada lahan luas milik negara yang jadi konsesi perusahaan di dekat Taman Nasional. Ambil itu 75 ribu hektare, biar kami hijaukan, hutankan. Kami siap menyisihkan uang sawit kami Rp500 ribu per hektare per tahun. Itu setara Rp30 miliar per tahun atau Rp2,5 miliar per bulan. Itu cukup untuk penghijauan. Tak hanya menghijaukan, kami juga siap menjaganya," tegasnya.
Usulan ini, kata Aziz, sudah disampaikan dalam pernyataan tertulis saat diundang oleh Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI pada 2 Juli lalu. “Kami bukan sekadar menuntut hak, tapi juga memberi solusi," ungkapnya.
Sebagai bentuk keseriusan, masyarakat bahkan berseloroh ingin didirikan enam pos militer untuk menjaga hutan yang dihadirkan oleh masyarakat secara swadaya itu.
“Biarkan kami yang bangun rumah bagi gajah dan satwa lain tak jauh dari tempat kami tinggal. Insya allah kami bisa dan mari kita jaga bersama," pungkasnya.
Editor : Banda Haruddin Tanjung
Artikel Terkait