Enggan Direlokasi, Warga Enam Desa Tawarkan Solusi Hijau demi Masa Depan Hutan Riau

Nanda Tanjung
Saat Warga Enam Desa Demo Tolak Relokasi di Kantor Gubernur Beberapa waktu Lalu (Dokumen)

PEKANBARU,iNewsPekanbaru.id – Saat ini pemerintah  melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) sedang menertibkan lahan sawit dan nantinya rumah warga yang disebut berada dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nillo. Terkait hal tersebut, warga menyatakan menolak dan menawarkan opsi.

Abdul Aziz, Juru Bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau bahwa warga sudah membangun rumah, membesarkan anak-anak, mendirikan sekolah, tempat ibadan. Tapi kini, puluhan ribu warga di enam desa itu justru diklaim sebagai perambah kawasan Taman Nasional. Mereka diminta relokasi mandiri sebelum 22 Agustus 2025.

“Masyarakat bukan musuh hutan, kami bagian dari alam yang kami jaga,” kata Abdul Aziz, Juru Bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau Jumat (11/7/2025). 

Ia menjelaskan, kawasan yang kini disebut Taman Nasional itu dulunya merupakan wilayah bekas konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Menurut Aziz, dari awal, keberadaan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) itu sangat penting, terutama di Riau yang dikenal memiliki lahan luas. Namun ketika penertiban itu sampai ke Taman Nasional dan masyarakat disebut sebagai perambah, membuat mereka terkejut.

Dia menjelaskan bahwa masyarakat di sana harus sudah relokasi mandiri dari sana tanpa kami dikasi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri secara hukum. Bagaimana proses hadirnya areal yang kami tempati itu menjadi Taman Nasional, juga tidak dikaji ulang. Padahal sedari awal proses hadirnya Taman Nasional itu telah bermasalah. Namun itu seolah enggak ada dan kami yang dipersalahkan, ” ujarnya.

"Bahwa yang kita tau. hasil inventarisasi BKSDA tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan yang sekarang disebut Taman Nasional bukan lagi hutan primer. Dari data itu, hutan dengan kerapatan kayu di atas 70 persen hanya tersisa sekitar 10 ribu hektare. Sementara yang berkepadatan 40–70 persen hanya 8 ribu hectare,"katanya.

Kalau merujuk pada PP 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, Taman Nasional itu harusnya masih alami. Tapi kawasan ini dulunya adalah HPH PT Dwi Marta, lalu diteruskan oleh Inhutani. Bahkan saat ditunjuk menjadi Taman Nasional, sudah ada hampir 4 ribu hektare yang dikuasai masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya, dalam proses penataan batas kawasan hutan, semestinya hak-hak masyarakat yang telah lebih dulu ada di sana, harus dikeluarkan dari kawasan. Ini malah diambil. 

“Sama seperti penunjukan Taman Nasional tahap pertama,  penunjukan perluasan Taman Nasional di tahun 2009, arealnya juga bukan hutan murni lagi, karena sebelumnya bekas HPH PT Nanjak Makmur. Hasil identifikasi Balai Taman Nasional dan WWF tahun 2010 bahkan menyebut lebih dari 28 ribu hektare areal yang ditunjuk menjadi Taman Nasional itu, sudah dikuasai oleh masyarakat,” tambahnya.

“Areal itu bekas HPH, belakangan, kami yang tinggal di sana dikatakan perambah dan pendatang yang merusak hutan. Sangat menyakitkan dituduh seperti itu. Orang yang tak tahu sejarah Taman Nasional itu akan percaya saja. Sebab dalam benak mereka, itu Taman Nasional, hutan rimba, padahal, sudah bekas tebangan perusahaan” tuturnya.

Editor : Banda Haruddin Tanjung

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network