Ini Kendala Utama Peremajaan Sawit Rakyat Termasuk di Riau

Nanda
Bahas Mengenai Peremajaan Sawit Rakyat (Foto Nanda)

JAKARTA  iNews.id - Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) saat ini masih kendala bagi petani. Untuk memecahkan persoalan tersebut diadakan pertemuan dengan berbagai pihak seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) dan lainnya di Jakarta.

Kasubdit Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan KLHK, Dr FX Herwirawan memaparkan berbagai persoalan terobosan mengenai PSR. Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung merespon positif yang disampaikan pihak KHLK

"Apa yang disampaikan oleh FX adalah hal yang memang sangat diperlukan oleh petani calon peserta PSR selama ini. Saya melihat semua yang disampaikan beliau sebenarnya adalah sudah ada sejak UUCK dilahirkan 2020 lalu. Hanya tersamarkan oleh berbagai persoalan, mulai dari covid dan dampak covid yang berkepanjangan, larangan ekspor CPO dan dampak pasca larangan ekspor dicabut,  dan trakhir ancaman dari dampak perang ukraina dan Rusia," kata Gulat, warga Pekanbaru, Riau.

Dijelaskannya, saat ini semua sudah dibuka bottleneck (memetakan simpul macetnya) dan ternyata persyaratan PSR terkait ke Kawasan hutan link dengan turunan UUCK yang menyebut lahan yang luasnya 5 hektar ke bawah dan sudah dikuasain 20 tahun berturut-turut langsung dikeluarkan dari kawasan hutan melalui perubahan fungsi Kawasan.

“Ya PSR itu kan maksimum 4 ha per KK dan yang namanya PSR dapat dipastikan umur tanamannya sudah diatas 25 tahun,”  ujar Gulat.

“Dalam konteks PSR, ini sangat mendukung, tinggal bagaimana petani yang diklaim dalam Kawasan hutan bisa menulis surat ke Dirjen Planologi KLHK yang dilengkapi kordinat tanah yang diusulkan supaya KLHK bisa menetapkan melalui surat bahwa usulan petani memenuhi syarat untuk di PSR kan dari sisi Kementerian teknis yang menangani kehutanan,” lanjut pria berdarah batak itu.
 
Demikian juga narasumber dari Kementerian ATR BPN yang diwakili oleh Dirjen SPPR, Virgo Eresta Jaya dan dilanjutkan dengan Direktur SPPR yang semakin merinci berbagai kemudahan untuk mendapatkan rekomendasi dari Kementerian ATRB BPN.

"Saya sepakat dengan Pak Virgo, bahwa yang penting tidak tumpeng tindih dengan izin HGU atau HPH atau izin-izin lainnya yang pernah diterbitkan pleh Kementerian ATR BPN di lahan yang diusulkan petani. Apa yang disampaikan Direktur SPPR merupakan tindaklanjut FGD Percepatan PSR di Riau dan hasilnya adalah draft revisi surat edaran Dirjend Survey SPPR nomor 396/SE-300.UK/X/2022. Saya melihat kecepatan tanggap darurat dari Dirjend SPPR pada kondisi rendahnya capaian PSR tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya sangat patut diapresiasi," imbuhnya.
 
Pada prinsipnya Draft tersebut memfokuskan tidak tumpangtindih dengan HPH atau HGU yang sudah pernah terbit dilokasi yang diusulkan petani untuk PSR dan inilah yang sangat urgen. Hal ini dapat dilakukan dan dicek dengan selfassesment (mandiri) dengan mengakses https://bhumi.atrbpn.go.id.
Rakor ini sudah menghasilkan beberapa terobosan turbolisasi percepatan PSR “tinggal bagaimana masing-masing kementerian menuangkan dalam bentuk surat edaran”. Ketiga kementerian terkait (Kementan, Kementerian ATR BPN dan Kementerian LHK) harus saling sepakat dan segera “menjahit” tupoksi dari masing-masing kementerian untuk kepentingan percepatan PSR ini.

Akan menjadi sia-sia jika point-point penting hasil Rakor ini tidak segera “dijahit” sebab hambatan utama PSR sejak tahun 2017 adalah terletak di kedua kementerian ini dan kedua kementerian ini masih dibawah negara kesatuan RI yang Presidennya adalah Joko Widodo.
Yang masih menggantung adalah bagaimana pihak APH (aparat penegak huku) supaya segera duduk bareng dengan Kementerian Pertanian. Issu penangan pemanggilan oleh APH telah menjadi momok yang menakutkan petani.

Dasar kordinasi Kementan dengan APH adalah surat Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian RI, nomor :TAN.03-157/M.EKON/06/2021, perihal Dukungan Pelaksanaan Program PSR, yang ditujukan kepada Kejaksaan Agung dan juga ada surat yang isinya sama ke Kapolri. Inti surat tersebut adalah bagaimana mensukseskan PSR sebagai Program Strategis Nasional.

“Kami petani sawit sepakat bahwa jika BPK atau Sucofindo telah menemukan pelanggaran atau bukti permulaan adanya tindak pidana korupsi pada pelaksanaan PSR suatu kelompok tani atau koperasi, maka silahkan di proses. Namun jika BPK dan Sucofindo sudah menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan dan tidak ditemukan kesalahan prosedur dan tidak ditemukan bukti permulaan korupsi, sebaiknya APH tidak perlu melakukan pemeriksaan. Proses pemeriksaan oleh APH telah membuat petani pada stres.


Pemeriksaan oleh APH telah membuat petani ketakutan dan akhirnya membatalkan niat ikut PSR bagi yang masih proses pengusulan dan telah membuat banyak peserta PSR yang sudah terbit rekomteknya mengundurkan diri. Kalau sudah seperti ini bakalan repot dan capaian target PSR 2023 akan tidak jauh beda dengan tahun 2022.
Kami petani sawit sangat berharap ke program PSR ini, tanpa PSR dipastikan kami akan phase out dari sector hulu karena tanaman yang ada saat ini sudah tidak produktif dan bibitnya dulunya tidak jelas asal usulnya.”untuk itu Kami bersandar-harapan kepada Direktur Tanaman Tahunan” harap Gulat.

Editor : Banda Haruddin Tanjung

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network