Indonesia Hadapi Babak Krusial Diplomasi Iklim di COP 30 Brasil
PEKANBARU, iNewsPekanbaru.id - Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) di Belem, Brasil, pada November 2025, Indonesia dinilai memasuki babak baru yang krusial dalam diplomasi dan aksi iklimnya. Setelah memperkuat komitmen pada Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) 2022, kini dokumen Second NDC 2025 menjadi penanda pergeseran strategi yang lebih konkret dan terintegrasi dengan arah pembangunan nasional.
Menurut Dr. Mahawan Karuniasa, Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia bahwa pergeseran ini bukan sekadar perubahan teknis, melainkan transformasi paradigma.
"Second NDC mengganti pendekatan berbasis Business as Usual (BAU) dengan target absolut emisi nasional. Ini adalah transformasi dari proyeksi terhadap 'yang mungkin' menjadi pengendalian terhadap 'yang harus dicapai," kata, ahli lingkungan itu dalam siaran persnya kepada iNewsPekanbaru.id Rabu (05/11/2025).
Second NDC 2025 menyatukan agenda iklim dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045. Visi ini didukung konsep Asta Cita yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekologi.
Target emisi Indonesia kini dinyatakan secara absolut: puncak emisi 2030 ditargetkan berada di kisaran 1,34–1,49 GtCO₂e, sebuah penurunan signifikan sebesar 8–17% dari proyeksi Enhanced NDC. Pendekatan ambisius ini sejalan dengan strategi jangka panjang menuju Net Zero Emission (NZE) paling lambat tahun 2060.
"Capaian NZE menuntut sistem kebijakan, pendanaan, dan transparansi yang lebih kuat daripada sebelumnya," kata Dr. Mahawan Karuniasa,yang juga menjabat Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI)
Sektor Kehutanan dan Tata Guna Lahan (Forestry and Other Land Use / FOLU) tetap menjadi pilar utama, menyumbang lebih dari separuh potensi penurunan emisi nasional. Melalui strategi FOLU Net Sink 2030, pemerintah menargetkan keseimbangan antara serapan dan emisi sebesar –140 MtCO₂e.
Upaya masif yang dilakukan mencakup restorasi dua juta hektare lahan gambut, rehabilitasi 12 juta hektare lahan terdegradasi, serta perlindungan hutan primer. Dengan kontribusi global yang besar, terutama dari ekosistem mangrove yang menyimpan 22% stok karbon dunia, Indonesia memiliki posisi strategis. Namun, tantangan terbesarnya bukan hanya di hutan, melainkan pada tata kelola lintas kementerian, tumpang tindih izin lahan, dan kebutuhan pembiayaan iklim yang mencapai lebih dari USD 470 miliar hingga 2035.
Momentum Kepemimpinan di COP 30 Belem
COP 30 di Belem, Brasil, akan menjadi arena krusial bagi Indonesia untuk menunjukkan transisi nyata dari komitmen (Enhanced NDC) ke kerangka aksi (Second NDC). Dr. Mahawan menekankan, forum ini adalah kesempatan untuk membuktikan implementasi di lapangan, bukan sekadar menaikkan angka ambisi.
Isu Just Transition yang diarusutamakan dalam Second NDC menempatkan dimensi sosial sebagai inti kebijakan, memastikan pekerja, petani, dan masyarakat adat tetap terlindungi di tengah perubahan ekonomi rendah karbon. Secara global, Indonesia juga diharapkan memimpin agenda kerja sama negara-negara selatan (global south cooperation) dalam pembiayaan iklim dan transfer teknologi, serta menegaskan peran hutan tropis sebagai global public goods.
"Perubahan iklim kini bukan lagi domain diplomasi, tetapi soal transformasi struktural ekonomi nasional. Second NDC menunjukkan evolusi dari 'janji politik' menjadi 'kerangka aksi ilmiah dan kebijakan'. Di COP 30, masa depan kepemimpinan iklim Indonesia dipertaruhkan—antara komitmen, kapasitas, dan keberanian untuk berubah," katanya yang juga pernah menjadi anggota delegasi Indonesia untuk Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC).
Editor : Banda Haruddin Tanjung