get app
inews
Aa Text
Read Next : Pakar Sebut Ilmu Lingkungan Tidak Tepat Ditempatkan di Bawah Pembangunan Berkelanjutan

Protes Muncul Usai UI Gabungkan SIL dan SKSG Jadi Sekolah Pascasarjana Baru

Senin, 27 Oktober 2025 | 19:59 WIB
header img
(Universitas Indonesia Foto Dokumen MNC Group)

iNewsPekanbaru.id - Universitas Indonesia (UI) meresmikan Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan pada Rabu (22/10/2025) di Balai Sidang, Kampus UI Depok. Peresmian ini menandai penggabungan dua unit akademik, yakni Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) dan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG). Namun, kebijakan tersebut menuai penolakan dari sejumlah dosen dan mahasiswa yang menilai prosesnya dilakukan tanpa dialog akademik yang memadai.

Mantan Direktur SIL UI, Dr. dr. Tri Edhi Budhi Soesilo, MSc, mengkritik keputusan penggabungan yang dianggap minim transparansi. Ia menyebut seluruh komponen akademik, mulai dari komite sekolah, dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, hingga alumni, tidak pernah diajak berdiskusi sebelum keputusan diumumkan.

“Saya prihatin, karena proses ini dilakukan tanpa tradisi ilmiah dan dialog akademik. Tidak ada komunikasi terbuka dengan sivitas SIL maupun SKSG,” ujar Budhi Senin (27 /10/2025) kepada iNewsPekanbaru.id.

Budhi juga mempertanyakan dasar hukum dalam restrukturisasi tersebut. "Saat sosialisasi yang dilakukan Tim Pansus Senat Akademik (SA), mereka menyampaikan UI belum memiliki peraturan SA yang mengatur "penggabungan" fakultas atau sekolah. Yang ada adalah peraturan pembubaran dan pembentukan baru," tambah Budhi.

Menurutnya, langkah ini berpotensi menimbulkan persoalan administratif dan hukum bagi mahasiswa, terutama penerima beasiswa dari lembaga eksternal.

“Saya ingin tahu apakah ada masa transisi bagi mahasiswa aktif. Mengubah nama sekolah begitu saja dapat melanggar aturan administratif,” ujarnya.

Selain aspek hukum, Budhi menilai penggabungan dua sekolah ini berpotensi menghapus capaian akademik dan kelembagaan yang telah dibangun SIL, termasuk akreditasi unggul, forum ilmiah rutin, dan program beasiswa. Ia menegaskan, proses pembentukan sekolah baru seharusnya melalui kajian matang, bukan sekadar penggabungan simbolis.

“Ini bukan menggabungkan dua unit dengan tali rafia. SIL punya sistem dan tradisi yang kuat,” tegasnya.

Senada dengan Budhi, Prof. Raldi Hendro Koestoer, PhD, dosen SIL UI, menyebut langkah penggabungan ini berisiko mengabaikan warisan ilmiah Prof. Emil Salim, pendiri Program Studi Ilmu Lingkungan UI dan tokoh nasional di bidang lingkungan hidup. Ia menilai hilangnya identitas SIL dapat mengurangi daya tarik akademik dan dukungan eksternal.

“Legacy Prof. Emil Salim adalah SIL UI. Pengabaian terhadap warisan ini bisa menjadi bumerang bagi UI di masa depan,” kata Raldi.

Sementara itu, sejumlah mahasiswa SIL mengaku terkejut atas pengumuman tersebut. Mereka menilai keputusan penggabungan dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan perwakilan mahasiswa dalam forum resmi.

“Saya menyayangkan jika mahasiswa tidak dilibatkan. Kami juga perlu tahu bagaimana nasib akreditasi dan administrasi sekolah setelah penggabungan ini,” ujar Danu, mahasiswa Magister SIL UI.

Mahasiswa lain, Dwi, menambahkan bahwa keputusan ini bertentangan dengan prinsip dasar SIL yang menekankan pentingnya keterlibatan manusia dalam setiap proses penelitian dan kebijakan.

“Seharusnya SIL menjadi contoh dalam penerapan dialog dan partisipasi, bukan justru mengabaikannya,” kata Dwi.

Hingga kini, pihak Universitas Indonesia belum memberikan penjelasan resmi terkait mekanisme pembubaran SIL dan SKSG, maupun masa transisi bagi sivitas akademika yang terdampak kebijakan restrukturisasi tersebut.

Editor : Banda Haruddin Tanjung

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut