get app
inews
Aa Read Next : 8.933 Napi di Riau Terima Remisi Idul Fitri, 46 Hirup Udara Segar

Dinilai Gagal Dalam Peremajaan Sawit,  Menteri LHK dan Mentan Layak Dievaluasi 

Rabu, 28 Desember 2022 | 22:34 WIB
header img
SAMADE Nilai Menteri LHK dan Mentan Layak Dievaluasi terkait Gagalnya Peremajaan Sawit (Foto Ilustrasi/Sindonews.com)

Pekanbaru iNews.id - Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Sawitku Masa Depanku(SAMADE) menilai Menteri Pertanian dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan(Men- LHK) sudah sangat layak dievaluasi. Sebab dua lembaga ini tidak bisa menerjemahkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menjadi program prioritas Presiden Joko Widido (Jokowi). Samade menilai mereka terkesan menghalangi. Gara-gara keduanya tidak bisa menerjemahkan program prioritas itu, petani kelapasawitmenjadi sangat dirugikan. 

“Sebelumnya Kementerian Pertanian telah mengeluarkan data bahwa potensi Peremajaan Sawit Rakyat mencapai 2,78 juta hektar. Dari 2020, sudah juga dibuat kesepahaman percepatan PSR dengan target 180 ribu hektar per tahun. Tapi dari 2016 sampai November 2022 lalu, kebun sawit rakyat yang baru berhasil diremajakan, masih hanya 257.862 hektar. Lahan ini milik 112.925 pekebun,” ungkap Wakil Ketua Umum DPP Smade, Abdul Aziz, Senin (28/12/2022) di Pekanbaru.

Rendahnya capaian PSR ini tidak lepas dari klaim kawasan hutan yang dilakukan oleh KLHK terhadap kebun-kebun kelapa sawit rakyat yang sesungguhnya sudah mereka kelolalebihdari 25 tahun. Rumitnya persyaratan PSR yang dibuat oleh Kementan, menambahdaftarpanjang persoalan yang dihadapi petani.

“Peremajaan itu bukan membuka lahan baru kemudian ditanam. Tapi justru menebangi pohon sawit yang sudah lalu ditanami lagi. Nah, kebetulan untuk programPSRini, adabantuan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). sebelumnya besaran bantuan itu Rp25 juta per hektar. Tapi sejak pertengahan tahun 2020 menjadi Rp30juta per hektar. Dana hibah ini bukan dari APBN, tapi dari hasil Pengutan Ekspor (PE) yang kemudian dikelola oleh BPDPKS,” cerita Aziz.

Untuk mendapatkan dana hibah itu kata Aziz, petani membuat usulan melalui dinas perkebunan yang ada di kabupaten/kota, provinsi hingga Direktorat Jenderal Perkebunan(Ditjen Bun). Salah satu syarat lolos usulan itu adalah kebun petani tidak berada di dalam kawasan hutan. 

“Di saat pengajuan inilah kemudian ketahuan kalau ternyata lahan kebun petani berada di dalam kawasan hutan.Ini kan aneh, lahan yang sudah dikuasai lebih dari 25 tahun, tiba-tiba diklaim berada di kawasan hutan. Yang paling aneh lagi, lahan petani yang sudahpunyasertifikat tanah, juga diklaim dalam kawasan hutan,” ujar Aziz.

Jika sudah seperti ini, dipastikan petani gagal mendapatkan dana hibah itu dan tak akanadapenjelasan dari Kementan kenapa lahan yang diusulkan oleh petani untuk ikut PSR berada di dalam kawasan hutan. KLHK juga kata Aziz tidak akan memberikan penjelasan kenapa lahan petani itu beradadi
dalam kawasan hutan. 

“Kapan kawasan hutan itu ditunjuk dan kapan ditetapkan, ituenggakakan ada penjelasan. Saya sering meminta bukti pengukuhan kawasan hutan itu, tapi tidak pernah mendapat jawaban. Bukti pengukuhan kawasan hutan itu kan ada yang namanya Berita Acara Tata Batas (BATB) yang dilengkapi dengan traking tata batas dan peta polygon.
Ini harus ada sesuai dengan apa yang tertera di pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999tentangKehutanan. Bahwa kawasan hutan yang ditunjuk harus segera ditatabatas untuk kemudian ditetapkan. Dalam proses penataan batas itu, setiap lahan yang sudah dikuasai oleh rakyatharus dikeluarkan dari areal yang ditunjuk tadi. Tapi itu tidak dilakukan oleh kehutanan. Itulah makanya lahan petani tadi terperangkap di dalam klaim kawasan hutan itu,” katanya.

Dijelasknnya tahun 2020 lalu, pemerintah sudah mengeluarkan UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di cluster kehutanan disebutkan bahwa lahan yang sudah dikuasai oleh petani minimal lima tahun dan tidak lebih dari lima hektar, dikeluarkan dari kawasan hutan.

“Aturan itu berlaku untuk kawasan hutan yang sudah dikukuhkan. Artinya, di dalam kawasan hutan yang sudah dikukuhkan sekali pun, aturan itu memerintahkan agar lahan petani dikeluarkan. Tapi itu juga tidak dilakukan. Yang ada justru, KLHK selalu ngotot bahwa lahan yang sudah dia klaim sebagai kawasan hutan, itulah kawasan hutan. Tidak boleh diganggu gugat,” Aziz mengurai. 

Klaim-klaim semacam ini kata Aziz sama saja dengan perampasan hak-hak rakyat. Padahal dalam undang-undang juga disebutkan bahwa apabila kawasan hutan sudah dikukuhkan tapi di dalamnya masih ada hak-hak rakyat, harus diselesaikan.

“Tapi itu juga tidak dilakukan. Berantakannya sistem pertanahan di negara ini, penyebabnyahanya satu. Bahwa dalam proses penunjukan kawasan hutan, otoritas kehutanan tidak pernah menjalankan aturan secara kongkrit. Termasuk juga pada lahan yang diserahkan kepada korporasi dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) ataupun konsesi perhutanan. Otoritas kehutanan hanya menunjuk hamparan lahan, tanpa pernah melibatkan para pihakuntuk sama-sama melakukan tata batas. Kita beli tanah sehektar saja harus mengajaksempadan untuk penataan batas. Apalagi pada luasan lahan yang besar yang berbatasan dengan banyak pihak. Kalau aturan yang ada dijalankan kongkrit, tak akan pernahadakonflik lahan di negeri ini,” Aziz memastikan.

Lantas apa kaitannya dengan Kementan? Semestinya Kementan mempertanyakan apa dasar KLHK mengatakan lahan petani itu berada di dalam kawasan hutan. Lalu jawaban KLHK itu kemudian disampaikan kepada petani. “Dan mestinya, Kementan menyodorkan UUCK tadi sebagai solusi baru agar petani bisa meremajakan kebunnya. Tapi itu tidak dilakukan. Padahal itu teramat mudah dilakukandisaat Mentan maupun Men-LHK berasal dari ‘rumah’ yang sama,” katanya. 

Aziz menyebut, tidak ujug-ujug Presiden Jokowi membuat PSR itu menjadi programprioritas, tapi pasti sudah melalui pemikiran yang matang. Bisa jadi karena dari 16,38 jutahektarkebun kelapa sawit di Indonesia, 42 persen adalah milik rakyat. 

“Berikutnya, kelapa sawit telah menjadi sumber kehidupan sekitar 17 juta keluarga di Indonesia. Sangat berdampak kepada geliat ekonomi di perdesaaan hingga ke kota. Tapi ini sepertinya tidak menjadi pertimbangan dua menteri ini. Kalau kita bicara hutan, data Bappenas tahun lalu menyebut masih ada 86 juta hektar tutupan hutan Indonesiadari sekitar 190 juta hektar luas daratan Indonesia. Luasan itu masih melebihi dari 30 persen tutupanhutan minimal,” Aziz menghitung.

 Terlepas dari adanya petinggi partai dua menteri tadi yang mengatakan bahwa MentandanMen-LHK punya segudang prestasi kata Aziz, silahkan saja. “Saya hanya bicara petani kelapasawit yang notabene telah menjadi isu strategis di negeri ini. Kalau isu strategis danprogramprioritas presiden ini saja tidak bisa diselesaikan, tentu keduanya layak dievaluasi danbahkan diganti,” katanya.
 

Editor : Banda Haruddin Tanjung

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut